MEMBANGUN
ETNOMATEMATIKA MASYARAKAT JAWA
Oleh: Maprokhi
NIM: 13709259014
A.
PENDAHULUAN
Matematika
tumbuh dan berkembang diberbagai belahan bumi ini, tidak hanya di satu lokasi
atau wilayah saja. Ada yang tumbuh dan berkembang
di wilayah India, Amerika, Arab, Cina,
Eropa, bahkan Indonesia dan juga daerah yang
lain. Pertumbuhan dan perkembangan matematika
terjadi karena adanya tantangan hidup
yang dihadapi manusia di berbagai wilayah
dengan berbagai latar belakang budaya yang
berbeda. Setiap budaya dan subbudaya mengembangkan
matematika dengan cara mereka
sendiri. Sehingga matematika dipandang sebagai
hasil akal budi (pikiran) manusia dalam aktivitas
masyarakat sehari-hari. Hal ini menyimpulkan bahwa matematika
merupakan produk
budaya yang merupakan hasil abstraksi pikiran
manusia, serta alat pemecahan masalah. Sebagaimana
diungkapkan oleh Sembiring dalam Rachmawati (2012)
bahwa matematika adalah konstruksi
budaya manusia.
B.
KAJIAN FILSAFAT
1.
Kebudayaan
Selama dua abad (abad 15 dan 16) di Eropa muncul sebuah gerakan yang
menginginkan seluruh kejayaan filsafat dan kebudayaan kembali hadir sebagaimana
pernah terjadi pada masa jayanya Yunani kuno. Gerakan tersebut dinamakan
renaissance. Renaissance, kata Perancis berarti ‘kelahiran kembali’ atau
‘kebangkitan kembali’. Renaissance
menunjukkan suatu gerakan yang meliputi suatu zaman dimana orang merasa
dilahirkan kembali dalam keadaban. Di dalam kelahiran kembali itu orang kembali
kepada sumber-sumber yang murni bagi pengetahuan dan keindahan. Zaman
renaissance juga berarti zaman yang menekankan otonomi dan kedaulatan manusia
dalam berpikir, dalam mengadakan eksplorasi, eksperimen,
dalam mengembangkan seni, sastra dan ilmu pengetahuan di Eropa (Yunus).
Ciri utama filsafat pada masa renaissance
adalah rasionalisme, yang menetapkan bahwa kebenaran berpusat pada akal, tetapi
setiap akal bergantung pada subjek yang menggunakannya. Oleh karena itu,
seorang filosof rasionalis menekankan bahwa berpikir sebagai wujud keberadaan
diri, jika seseorang berpikir berarti ia ada. Ajaran ini diperkenalkan oleh
Rene Descartes dengan paradigma cogito
ergo sum atau cogito descartes
(Hakim & Saebani: 2008)
Kebudayaan menurut Taylor dalam Tim Dosen
Filsafat Ilmu (2010) adalah keseluruhan kompleks
yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat kebiasaan, dan
kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lain yang dibutuhkan manusia sebagai anggota
masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan meliputi seluruh aktivitas manusia
yang bersifat material maupun spiritual (nonmaterial).
Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat: 1983). Ada tiga
wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat
(1983). Pertama,
wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma. Kedua, wujud kebudayaan sebagai
aktifitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat. Ketiga adalah wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama berbentuk abstrak, sehingga tidak dapat
dilihat dengan indera penglihatan. Wujud ini terdapat di dalam pikiran
masyarakat. Ide atau gagasan banyak hidup bersama dengan masyarakat. Gagasan
itu selalu berkaitan dan tidak bisa lepas antara yang satu dengan yang lainnya.
Keterkaitan antara setiap gagasan ini disebut sistem. Koentjaraningrat (1983), mengemukaan
bahwa kata ‘adat’ dalam bahasa Indonesia adalah kata yang sepadan untuk
menggambarkan wujud kebudayaan pertama yang berupa ide atau gagasan ini.
Sedangkan untuk bentuk jamaknya disebut dengan adat istiadat (Koentjaraningrat: 1983).
Wujud kebudayaan yang kedua disebut dengan sistem sosial (Koentjaraningrat: 1983). Sistem sosial
dijelaskan Koentjaraningrat (1983) sebagai
keseluruhan aktifitas manusia atau segala bentuk tindakan manusia yang
berinteraksi dengan manusia lainnya. Aktifitas ini dilakukan setiap waktu dan
membentuk pola-pola tertentu berdasarkan adat yang berlaku dalam masyarakat
tersebut. Tindakan-tindakan yang memiliki pola tersebut disebut sebagai sistem
sosial oleh Koentjaraningrat. Sistem sosial berbentuk kongkrit karena bisa dilihat
pola-pola tindakannya dengan indra penglihatan. Kemudian wujud ketiga
kebudayaan disebut dengan kebudayaan fisik (Koentjaraningrat: 1983). Wujud kebudayaan ini
bersifat konkret karena merupakan benda-benda dari segala hasil ciptaan, karya,
tindakan, aktivitas, atau perbuatan manusia dalam masyarakat.
Koentjaraningrat
juga mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yaitu bahasa, kesenian,
sistem religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial,
dan sistem ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat: 1983).
2.
Masyarakat Jawa
Menurut Auguste Comte dalam Hakim
& Saebani (2008), masyarakat dipandang sebagai suatu keseluruhan organik
yang kenyataannya lebih daripada sekadar jumlah bagian-bagian yang saling
bergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan ini, metode penelitian empiris
harus digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari
alam seperti halnya gejala fisik. Andreski dalam Hakim & Saebani (2008)
berpendapat, pendirian Comte bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan
pengetahuan metode-metode penelitian empiris dari ilmu-ilmu alam lainnya,
merupakan sumbangannya yang tidak terhingga nilainya terhadap perkembangan
sosiologi. Tentu saja, keyakinan inilah, dan bukan teori substantifnya tentang
masyarakat, yang bernilai bagi usaha sosiologi sekarang.
Menurut Koentjaraningrat (1983), masyarakat
adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat
istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa
identitas bersama. Masyarakat Jawa merupakan salah satu masyarakat yang hidup
dan berkembang mulai zaman dahulu hingga sekarang yang secara turun temurun
menggunakan bahasa Jawa dalam berbagai ragam dialeknya dan mendiami sebagian
besar Pulau Jawa (Herusatoto dalam Marzuki: 2006). Di Jawa sendiri selain
berkembang masyarakat Jawa juga berkembang masyarakat Sunda, Madura, dan
masyarakat-masyarakat lainnya. Pada perkembangannya masyarakat Jawa tidak hanya
mendiami Pulau Jawa, tetapi kemudian menyebar di hampir seluruh penjuru
nusantara. Bahkan di luar Jawa pun banyak ditemukan komunitas Jawa akibat adanya
program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah. Masyarakat Jawa ini memiliki
karakteristik tersendiri dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat lainnya,
seperti masyarakat Sunda, masyarakat Madura, masyarakat Minang, dan lain
sebagainya (Marzuki: 2006).
Endraswara
(2003) menyatakan asal-usul orang Jawa terdapat berbagai versi seperti
berikut ini.
a.
Dalam Serat Paramayoga karya R. Ng. Ranggawarsita yang
bersumber dari Serat Jitapsara karya Begawan
Palasara, nenek moyang orang Jawa adalah hasil sinkretis Hindu Jawa dan Islam
Jawa yang menghasilkan berbagai mitos kejawaan. Dalam karya tersebut, tampak
bahwa Ajisaka dijadikan sebagai cikal bakal orang Jawa.
b.
Dalam Tantu Panggelaran, nenek moyang orang Jawa adalah
dewa yaitu Batara Siwa. Diceritakan bahwa Batara Siwa menemukan suatu pulau
yang banyak tumbuh tanaman Jawawut (mirip
rumput teki), lalu diubah namanya menjadi Jawa.
3.
Matematika
Kant
dalam Marsigit (2012) mengemukakan
bahwa ilmu matematika merupakan contoh yang paling cemerlang
tentang bagaimana akal murni berhasil bisa memperoleh kesuksesannya dengan
bantuan pengalaman. Selanjutnya,
Kant dalam Marsigit (2012),
berpendapat bahwa intuisi matematika murni yang meletakkan pada dasar dari
semua kognisi dan penilaian yang muncul sekaligus apodiktis dan diperlukan
adalah ruang dan waktu, karena matematika
harus terlebih dahulu memiliki semua konsep dalam intuisi, dan
matematika murni intuisi murni, maka, matematika harus membangun mereka. Menurut Kant dalam Marsigit, matematika
sebagai ilmu adalah mungkin jika konsep matematika dikonstruksi berdasarkan
intuisi keruangan dan waktu. Konstruksi konsep matematika berdasar intuisi
ruang dan waktu akan menghasilkan matematika sebagai ilmu yang bersifat
“sintetik a priori”. Oleh Kant, metode sintetik dilawankan dengan metode
analitik dan konsep “a priori” dilawankan dengan “a posteriori”.
Bagi
kaum ‘social constructivist’ yang dimotori oleh Paul Ernest, matematika
modern bukanlah suatu hasil yang tak terhindarkan, melainkan merupakan evolusi
hasil budaya manusia. Joseph dalam http://marsigitphilosophy.blogspot.com/ 2008/12/matematika-dilihat-dari-berbagai-sudut.html, menunjuk kan betapa banyaknya
tradisi dan penelitian pengembangan matematika berangkat dari pusat peradaban
dan kebudayaan manusia.
Bagi kaum rasionalis yang dipelopori oleh Rene
Descartes dan Leibniz berpendapat bahwa konsep matematika bersifat melekat “innate” pada pikiran kita; sementara
John Locke dan David Hume berpendapat bahwa pengetahuan matematika diturunkan
berdasarkan pengalaman inderawi. Pandangan John Locke dan David Hume diteruskan
oleh John Stuart Mill sebagai seorang empiris yang
berpandangan bahwa pemahaman matematika diperoleh dari pengalaman dan kebenaran
matematika diperoleh dengan melakukan generalisasi kegiatan penemuan
konsep-konsep empiris (http://marsigitphilosophy. blogspot.com/2008/12/pondasi-matematika-dari-plato-sampai.html).
C.
ETNOMATEMATIKA
1.
Pengertian Etnomatematika
Istilah Ethnomathematics yang selanjutnya disebut Etnomatematika
diperkenalkan oleh D'Ambrosio, seorang matematikawan Brasil pada tahun 1977.
Definisi etnomatematika menurut D'Ambrosio adalah: The prefix ethno is today
accepted as a very broad term that refers to the socialcultural context and
therefore includes language, jargon, and codes of behavior, myths, and symbols.
The derivation of mathema is difficult, but tends to mean to explain, to know,
to understand, and to do activities such as ciphering, measuring, classifying,
inferring, and modeling. The suffix tics is derived from techné, and has the
same root as technique (Rosa & Orey dalam Wahyuni, Tias & Sani: 2013)
Secara bahasa, awalan “ethno” diartikan sebagai sesuatu yang
sangat luas yang mengacu pada konteks sosial budaya, termasuk bahasa, jargon,
kode perilaku, mitos, dan simbol. Kata dasar “mathema” cenderung berarti menjelaskan, mengetahui, memahami, dan
melakukan kegiatan seperti pengkodean, mengukur, mengklasifikasi, menyimpulkan,
dan pemodelan. Akhiran “tics“ berasal
dari techne, dan bermakna sama
seperti teknik. Sedangkan secara istilah etnomatematika diartikan sebagai: "The
mathematics which is practiced among identifiable cultural groups such as
national- tribe societies, labour groups,children of certain age brackets and
professional classes" (D'Ambrosio dalam Wahyuni, Tias & Sani: 2013).
Artinya: “Matematika yang dipraktikkan di antara kelompok budaya
diidentifikasi seperti masyarakat nasional, suku, kelompok buruh, anak-anak
dari kelompok usia tertentu dan kelas profesional" (D'Ambrosio dalam
Wahyuni, Tias & Sani: 2013). Istilah tersebut kemudian disempurnakan
menjadi: "I have been using the word ethnomathematics as modes, styles,
and techniques (tics) of explanation, of understanding, and of coping with the
natural and cultural environment (mathema) in distinct cultural systems
(ethno)" (D'Ambrosio dalam
Wahyuni, Tias & Sani: 2013). Artinya:
"Saya telah menggunakan kata Etnomatematika sebagai mode, gaya, dan teknik
(tics) menjelaskan, memahami, dan
menghadapi lingkungan alam dan budaya (mathema)
dalam sistem budaya yang berbeda (ethnos)"
(D'Ambrosio dalam Wahyuni, Tias & Sani: 2013). D'Ambrosio dalam Wahyuni,
Tias & Sani (2013) juga mengatakan Ethnomathematics
adalah studi tentang matematika yang memperhitungkan pertimbangan budaya dimana
matematika muncul dengan memahami penalaran dan sistem matematika yang mereka
gunakan. Kajian etnomatematika dalam pembelajaran matematika mencakup segala
bidang: arsitektur, tenun, jahit, pertanian, hubungan kekerabatan, ornamen,
spiritual dan praktik keagamaan sering selaras dengan pola yang terjadi di alam
atau memerintahkan sistem ide-ide abstrak. Shirley dalam Wahyuni, Tias &
Sani: (2013), berpandangan bahwa sekarang ini bidang etnomathematika, yaitu matematika
yang timbul dan berkembang dalam masyarakat dan sesuai dengan kebudayaan setempat,
merupakan pusat proses pembelajaran dan metode pengajaran. Hal ini membuka potensi
pedagogis yang mempertimbangkan pengetahuan para siswa yang diperoleh dari
belajar di luar kelas. Menurut Barton dalam Wahyuni, Tias & Sani (2013), ethnomathematics mencakup ide-ide
matematika, pemikiran dan praktik yang dikembangkan oleh semua budaya. Ethnomathematics juga dapat dianggap
sebagai sebuah program yang bertujuan untuk mempelajari bagaimana siswa untuk memahami,
mengartikulasikan, mengolah, dan akhirnya menggunakan ide-ide matematika,
konsep, dan praktik-praktik yang dapat memecahkan masalah yang berkaitan dengan
aktivitas sehari-hari mereka. Etnomatematika menggunakan konsep matematika
secara luas yang terkait dengan berbagai aktivitas matematika, meliputi
aktivitas mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat,
bermain, menentukan lokasi, dan lain sebagainya, sebagaimana yang dikatakan
oleh D'Ambrosio dalam Wahyuni, Tias & Sani (2013) bahwa tujuan dari adanya
etnomatematika adalah untuk mengakui bahwa ada cara-cara berbeda dalam melakukan
matematika dengan mempertimbangkan pengetahuan matematika yang dikembangkan
dalam berbagai sektor masyarakat serta dengan mempertimbangkan cara yang
berbeda dalam aktivitas masyarakat seperti cara mengelompokkan, berhitung,
mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain dan lainnya.
2.
Etnomatematika Masyarakat Jawa
Bentuk
etnomatematika masyarakat Jawa berupa
berbagai hasil aktivitas matematika yang dimiliki
atau berkembang di masyarakat Jawa, meliputi konsep-konsep
matematika yang dapat dikelompokkan pada peninggalan
budaya berikut:
a. Candi
dan Prasasti
Konsep
matematika sebagai hasil aktivitas merancang
bangunan, mengukur, membuat pola,
serta berhitung dapat diungkap dari peninggalan
budaya candi dan prasasti, diantaranya:
1)
Konsep matematika dalam pembangunan.
Walaupun
masyarakat Jawa jaman dahulu belum mengenal materi
dasar konstruksi bangunan seperti
halnya yang sekarang
diajarkan pada pendidikan formal
(seperti konsep siku-siku, simetris, persegipanjang,
maupun yang konsep geometri
lain), tetapi mereka dapat membangun
bangunan yang megah dan tahan
lama jika dibandingkan dengan bangunan
jaman sekarang. Mereka hanya melakukannya
secara mengalir, menggunakan
perkiraan dan satuan lokal (karena
satuan SI belum dikenal pada saat itu),
dan menerapkannya pada tata cara tata letak, dan tata bangunan sesuai dengan landasan Filosofis,
Etis, dan Ritual
yang mereka yakini (Rachmawati, 2012).
2)
Konsep matematika sebagai
produk.
Masyarakat
Jawa telah mengimplementasikan
salah satu ilmu matematika
yaitu Geometri dalam pembangunan
bagian-bagian bangunan candi,
diantaranya model bangun datar, meliputi
persegi, persegipanjang, trapesium,
segitiga, segitiga samakaki, segitiga
samasisi, segilima, serta belahketupat, model bangun ruang, meliputi kubus dan balok, model sifat
matematis, meliputi
sifat simetris, dan konsep translasi
(pergeseran), serta pola dilatasi persegi
pada bagian dalam atap candi yang
membentuk deret aritmatika (Rachmawati, 2012).
b. Gerabah
dan Peralatan Tradisional
Konsep
matematika sebagai hasil aktivitas merancang
alat serta membuat pola yangterdapat pada gerabah dan peralatan tradisional merupakan contoh
bentuk etnomatematika masyarakat Jawa, diantaranya bentuk dasar irik,
kalo, serta ebor yang
berbentuk setengah bola dengan tepian berpola
lingkaran, layah (cobek) berbentuk lingkaran, entong berbentuk elips,
capil berbetuk kerucut, ilir dan
kelasa berbentuk persegipanjang, serta benda peninggalan budaya lainnya yang memiliki
bentuk-bentuk geometri (Rachmawati, 2012).
c. Motif
Kain Batik dan Bordir.
Konsep
matematika sebagai hasil aktivitas memola
yang dapat diungkap dari motif batik dan bordir Jawa diantaranya konsep lingkaran, garis lurus dan
garis lengkung, simetris,
refleksi, dilatasi, translasi, sertarotasi. Dengan menerapkan konsep matematis pada teknik pengulangan,
batik-batik tradisional maupun motif kain bordir itu bisa dikembangkan dan dimodifikasi (Rachmawati, 2012).
d. Permainan Tradisional.
Konsep
matematika sebagai hasil aktivitas bermain
berkaitan dengan aktivitas mengelompokkan,
menghitung atau membilang,
dan lainnya dapat diungkap dari masing-masing permainan tersebut
memiliki konsep
matematika sebagai berikut (Rachmawati, 2012):
1) hompimpa, suit dan umbulan/geplakan: konsep peluang
2) engklek:
model persegi dan persegipanjang
3) bekelan: konsep translasi, membilang, penjumlahan serta pengurangan pada bilangan bulat
1 sampai 5
4) Lompat
tali: konsep garis lurus
dan garis lengkung.
5) Bermain pasir: konsep bangun ruang
6) Pasaran: konsep aritmatika sosial, meliputi nilai mata uang serta
operasi bilangan
bulat.
7) petak umpet/Delikan: konsep menghitung bilangan dari 1 s.d.
10.
8) Dakon/congklak: konsep penjumlahan, pengurangan, perkalian dan
pembagian pada
bilangan bulat.
e. Hari pasaran pon, wage, kliwon, legi dan pahing
Konsep
matematika yang berkaitan dengan hari pasaran adalah konsep modulo atau basis
bilangan, sehingga orang jawa bisa menentukan hari dalam acara 40 hari, 100
hari ataupun 1000 hari meninggalnya seseorang.
f.
Petungan
Konsep
matematika yang berkaitan dengan petungan adalah konsep penjumlahan,
pengurangan, perkalian dan pembagian.
D.
PENUTUP
Dalam kesehariannya tanpa disadari masyarakat
telah menggunakan aktivitas matematika walaupun mereka tidak mengetahui
konsep-konsep matematika. Kebiasaan masyarakat seharusnya terus ditanamkan dan dipraktikan
dalam kehidupan sehari-hari dan bila perlu dikembangkan. Selain itu kebiasaan
aktivitas matematika ini dapat dijadikan sarana dalam membantu pembelajaran
matematika dan ini sangat cocok dengan pola pendekatan pembelajaran kontekstual
dan matematika riil. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi para pendidik
untuk dapat mengintegrasikan budaya dan matematika.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2003. Falsafah Hidup Jawa. Tangerang. Penerbit Cakrawala.
Hakim, Atang Abdul & Saebani, Beni Ahmad. 2008. Filsafat Umum: dari Metologi Sampai Teofilosofi. Bandung. Penerbit
Pustaka Setia.
Koentjaraningrat. 1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Aksara Baru
Marsigit. 2008. Matematika Dilihat dari Berbagai Sudut Pandang. http://marsigit philosophy.blogspot.com/2008/12/matematika-dilihat-dari-berbagai-sudut.html.
Marsigit. 2008. Pondasi Matematika: Dari Plato sampai Godel. http://marsigit philosophy.blogspot.com/2008/12/pondasi-matematika-dari-plato-sampai.html
Marsigit. 2012. Sejarah
dan Filsafat Matematika. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/marsigit-dr-ma/ sejarah-dan-filsafat-matematikabahan-workshop-guru-smk-rsbi2012.pdf.
Marsigit. _. Peran
Intuisi dalam MatematikaMenurut Immanuel Kant. http://staff.uny .ac.id/ system/files/Penelitian/Marsigit,%20Dr.,%20M.A./Makalah%20 Kon%20Nas%20Mat%20Semarang.pdf.
Marzuki.
2006. Tradisi dan Budaya Masyarakat Jawa
dalam Perspekti Islam. http:// eprints.uny.ac.id/2609.
Rachmawati, Inda. 2012. Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo. http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/mathedunesa/article/view/249.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM.
2010.. Filsafat Ilmu: Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta. Liberty.
Wahyuni, Astri; Tias, Ayu
Aji Wedaring & Sani, Budiman. 2013. Peran etnomatematika dalam membangun karakter bangsa. http://eprints. uny.ac.id/10738/1/P%20-%2015.pdf.
Yunus, Firdaus M. _. Filsafat Barat Modern. http://e-dokumen.kemenag. go.id/files/TrL4kHFM1339045469.pdf.