Senin, 17 Maret 2014

Tugas UAS Mata Kuliah Filsafat Ilmu




MEMBANGUN ETNOMATEMATIKA MASYARAKAT JAWA
Oleh: Maprokhi
NIM: 13709259014




A.      PENDAHULUAN
Matematika tumbuh dan berkembang diberbagai belahan bumi ini, tidak hanya di satu lokasi atau wilayah saja. Ada yang tumbuh dan berkembang di wilayah India, Amerika, Arab, Cina, Eropa, bahkan Indonesia dan juga daerah yang lain. Pertumbuhan dan perkembangan matematika terjadi karena adanya tantangan hidup yang dihadapi manusia di berbagai wilayah dengan berbagai latar belakang budaya yang berbeda. Setiap budaya dan subbudaya mengembangkan matematika dengan cara mereka sendiri. Sehingga matematika dipandang sebagai hasil akal budi (pikiran) manusia dalam aktivitas masyarakat sehari-hari. Hal ini menyimpulkan bahwa matematika merupakan produk budaya yang merupakan hasil abstraksi pikiran manusia, serta alat pemecahan masalah. Sebagaimana diungkapkan oleh Sembiring dalam Rachmawati (2012) bahwa matematika adalah konstruksi budaya manusia.

B.       KAJIAN FILSAFAT
1.      Kebudayaan
Selama dua abad (abad 15 dan 16) di Eropa muncul sebuah gerakan yang menginginkan seluruh kejayaan filsafat dan kebudayaan kembali hadir sebagaimana pernah terjadi pada masa jayanya Yunani kuno. Gerakan tersebut dinamakan renaissance. Renaissance, kata Perancis berarti ‘kelahiran kembali’ atau ‘kebangkitan kembali’. Renaissance menunjukkan suatu gerakan yang meliputi suatu zaman dimana orang merasa dilahirkan kembali dalam keadaban. Di dalam kelahiran kembali itu orang kembali kepada sumber-sumber yang murni bagi pengetahuan dan keindahan. Zaman renaissance juga berarti zaman yang menekankan otonomi dan kedaulatan manusia dalam berpikir, dalam mengadakan eksplorasi, eksperimen, dalam mengembangkan seni, sastra dan ilmu pengetahuan di Eropa (Yunus).
Ciri utama filsafat pada masa renaissance adalah rasionalisme, yang menetapkan bahwa kebenaran berpusat pada akal, tetapi setiap akal bergantung pada subjek yang menggunakannya. Oleh karena itu, seorang filosof rasionalis menekankan bahwa berpikir sebagai wujud keberadaan diri, jika seseorang berpikir berarti ia ada. Ajaran ini diperkenalkan oleh Rene Descartes dengan paradigma cogito ergo sum atau cogito descartes (Hakim & Saebani: 2008)
Kebudayaan menurut Taylor dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu  (2010) adalah keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat kebiasaan, dan kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lain yang dibutuhkan manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan meliputi seluruh aktivitas manusia yang bersifat material maupun spiritual (nonmaterial).
Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat: 1983). Ada tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1983). Pertama, wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma. Kedua, wujud kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat. Ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama berbentuk abstrak, sehingga tidak dapat dilihat dengan indera penglihatan. Wujud ini terdapat di dalam pikiran masyarakat. Ide atau gagasan banyak hidup bersama dengan masyarakat. Gagasan itu selalu berkaitan dan tidak bisa lepas antara yang satu dengan yang lainnya. Keterkaitan antara setiap gagasan ini disebut sistem. Koentjaraningrat (1983),  mengemukaan bahwa kata ‘adat’ dalam bahasa Indonesia adalah kata yang sepadan untuk menggambarkan wujud kebudayaan pertama yang berupa ide atau gagasan ini. Sedangkan untuk bentuk jamaknya disebut dengan adat istiadat (Koentjaraningrat: 1983). Wujud kebudayaan yang kedua disebut dengan sistem sosial (Koentjaraningrat: 1983). Sistem sosial dijelaskan Koentjaraningrat (1983) sebagai keseluruhan aktifitas manusia atau segala bentuk tindakan manusia yang berinteraksi dengan manusia lainnya. Aktifitas ini dilakukan setiap waktu dan membentuk pola-pola tertentu berdasarkan adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Tindakan-tindakan yang memiliki pola tersebut disebut sebagai sistem sosial oleh Koentjaraningrat. Sistem sosial berbentuk kongkrit karena bisa dilihat pola-pola tindakannya dengan indra penglihatan. Kemudian wujud ketiga kebudayaan disebut dengan kebudayaan fisik (Koentjaraningrat: 1983). Wujud kebudayaan ini bersifat konkret karena merupakan benda-benda dari segala hasil ciptaan, karya, tindakan, aktivitas, atau perbuatan manusia dalam masyarakat.
Koentjaraningrat juga mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yaitu bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, dan sistem ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat: 1983).
 
2.      Masyarakat Jawa
Menurut Auguste Comte dalam Hakim & Saebani (2008), masyarakat dipandang sebagai suatu keseluruhan organik yang kenyataannya lebih daripada sekadar jumlah bagian-bagian yang saling bergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan ini, metode penelitian empiris harus digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik. Andreski dalam Hakim & Saebani (2008) berpendapat, pendirian Comte bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan pengetahuan metode-metode penelitian empiris dari ilmu-ilmu alam lainnya, merupakan sumbangannya yang tidak terhingga nilainya terhadap perkembangan sosiologi. Tentu saja, keyakinan inilah, dan bukan teori substantifnya tentang masyarakat, yang bernilai bagi usaha sosiologi sekarang.
Menurut Koentjaraningrat (1983), masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Masyarakat Jawa merupakan salah satu masyarakat yang hidup dan berkembang mulai zaman dahulu hingga sekarang yang secara turun temurun menggunakan bahasa Jawa dalam berbagai ragam dialeknya dan mendiami sebagian besar Pulau Jawa (Herusatoto dalam Marzuki: 2006). Di Jawa sendiri selain berkembang masyarakat Jawa juga berkembang masyarakat Sunda, Madura, dan masyarakat-masyarakat lainnya. Pada perkembangannya masyarakat Jawa tidak hanya mendiami Pulau Jawa, tetapi kemudian menyebar di hampir seluruh penjuru nusantara. Bahkan di luar Jawa pun banyak ditemukan komunitas Jawa akibat adanya program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah. Masyarakat Jawa ini memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat lainnya, seperti masyarakat Sunda, masyarakat Madura, masyarakat Minang, dan lain sebagainya (Marzuki: 2006).


Endraswara (2003) menyatakan asal-usul orang Jawa terdapat berbagai versi seperti berikut ini.
a.         Dalam Serat Paramayoga karya R. Ng. Ranggawarsita yang bersumber dari Serat Jitapsara karya Begawan Palasara, nenek moyang orang Jawa adalah hasil sinkretis Hindu Jawa dan Islam Jawa yang menghasilkan berbagai mitos kejawaan. Dalam karya tersebut, tampak bahwa Ajisaka dijadikan sebagai cikal bakal orang Jawa.
b.        Dalam Tantu Panggelaran, nenek moyang orang Jawa adalah dewa yaitu Batara Siwa. Diceritakan bahwa Batara Siwa menemukan suatu pulau yang banyak tumbuh tanaman Jawawut (mirip rumput teki), lalu diubah namanya menjadi Jawa.

3.      Matematika
Kant dalam Marsigit (2012) mengemukakan bahwa ilmu matematika merupakan contoh yang paling cemerlang tentang bagaimana akal murni berhasil bisa memperoleh kesuksesannya dengan bantuan pengalaman. Selanjutnya, Kant dalam Marsigit (2012), berpendapat bahwa intuisi matematika murni yang meletakkan pada dasar dari semua kognisi dan penilaian yang muncul sekaligus apodiktis dan diperlukan adalah ruang dan waktu, karena matematika harus terlebih dahulu memiliki semua konsep dalam intuisi, dan matematika murni intuisi murni, maka, matematika harus membangun mereka. Menurut Kant dalam Marsigit, matematika sebagai ilmu adalah mungkin jika konsep matematika dikonstruksi berdasarkan intuisi keruangan dan waktu. Konstruksi konsep matematika berdasar intuisi ruang dan waktu akan menghasilkan matematika sebagai ilmu yang bersifat “sintetik a priori”. Oleh Kant, metode sintetik dilawankan dengan metode analitik dan konsep “a priori” dilawankan dengan “a posteriori”.
Bagi kaum ‘social constructivistyang dimotori oleh Paul Ernest, matematika modern bukanlah suatu hasil yang tak terhindarkan, melainkan merupakan evolusi hasil budaya manusia. Joseph dalam http://marsigitphilosophy.blogspot.com/ 2008/12/matematika-dilihat-dari-berbagai-sudut.html, menunjuk kan betapa banyaknya tradisi dan penelitian pengembangan matematika berangkat dari pusat peradaban dan kebudayaan manusia.
Bagi kaum rasionalis yang dipelopori oleh Rene Descartes dan Leibniz berpendapat bahwa konsep matematika bersifat melekat “innate” pada pikiran kita; sementara John Locke dan David Hume berpendapat bahwa pengetahuan matematika diturunkan berdasarkan pengalaman inderawi. Pandangan John Locke dan David Hume diteruskan oleh John Stuart Mill sebagai seorang empiris yang berpandangan bahwa pemahaman matematika diperoleh dari pengalaman dan kebenaran matematika diperoleh dengan melakukan generalisasi kegiatan penemuan konsep-konsep empiris (http://marsigitphilosophy. blogspot.com/2008/12/pondasi-matematika-dari-plato-sampai.html).

C.      ETNOMATEMATIKA
1.      Pengertian Etnomatematika
Istilah Ethnomathematics yang selanjutnya disebut Etnomatematika diperkenalkan oleh D'Ambrosio, seorang matematikawan Brasil pada tahun 1977. Definisi etnomatematika menurut D'Ambrosio adalah: The prefix ethno is today accepted as a very broad term that refers to the socialcultural context and therefore includes language, jargon, and codes of behavior, myths, and symbols. The derivation of mathema is difficult, but tends to mean to explain, to know, to understand, and to do activities such as ciphering, measuring, classifying, inferring, and modeling. The suffix tics is derived from techné, and has the same root as technique (Rosa & Orey dalam Wahyuni, Tias & Sani: 2013)
Secara bahasa, awalan “ethno” diartikan sebagai sesuatu yang sangat luas yang mengacu pada konteks sosial budaya, termasuk bahasa, jargon, kode perilaku, mitos, dan simbol. Kata dasar “mathema” cenderung berarti menjelaskan, mengetahui, memahami, dan melakukan kegiatan seperti pengkodean, mengukur, mengklasifikasi, menyimpulkan, dan pemodelan. Akhiran “tics“ berasal dari techne, dan bermakna sama seperti teknik. Sedangkan secara istilah etnomatematika diartikan sebagai: "The mathematics which is practiced among identifiable cultural groups such as national- tribe societies, labour groups,children of certain age brackets and professional classes" (D'Ambrosio dalam Wahyuni, Tias & Sani: 2013). Artinya: “Matematika yang dipraktikkan di antara kelompok budaya diidentifikasi seperti masyarakat nasional, suku, kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu dan kelas profesional" (D'Ambrosio dalam Wahyuni, Tias & Sani: 2013). Istilah tersebut kemudian disempurnakan menjadi: "I have been using the word ethnomathematics as modes, styles, and techniques (tics) of explanation, of understanding, and of coping with the natural and cultural environment (mathema) in distinct cultural systems (ethno)" (D'Ambrosio dalam Wahyuni, Tias & Sani: 2013). Artinya: "Saya telah menggunakan kata Etnomatematika sebagai mode, gaya, dan teknik (tics) menjelaskan, memahami, dan menghadapi lingkungan alam dan budaya (mathema) dalam sistem budaya yang berbeda (ethnos)" (D'Ambrosio dalam Wahyuni, Tias & Sani: 2013). D'Ambrosio dalam Wahyuni, Tias & Sani (2013) juga mengatakan Ethnomathematics adalah studi tentang matematika yang memperhitungkan pertimbangan budaya dimana matematika muncul dengan memahami penalaran dan sistem matematika yang mereka gunakan. Kajian etnomatematika dalam pembelajaran matematika mencakup segala bidang: arsitektur, tenun, jahit, pertanian, hubungan kekerabatan, ornamen, spiritual dan praktik keagamaan sering selaras dengan pola yang terjadi di alam atau memerintahkan sistem ide-ide abstrak. Shirley dalam Wahyuni, Tias & Sani: (2013), berpandangan bahwa sekarang ini bidang etnomathematika, yaitu matematika yang timbul dan berkembang dalam masyarakat dan sesuai dengan kebudayaan setempat, merupakan pusat proses pembelajaran dan metode pengajaran. Hal ini membuka potensi pedagogis yang mempertimbangkan pengetahuan para siswa yang diperoleh dari belajar di luar kelas. Menurut Barton dalam Wahyuni, Tias & Sani (2013), ethnomathematics mencakup ide-ide matematika, pemikiran dan praktik yang dikembangkan oleh semua budaya. Ethnomathematics juga dapat dianggap sebagai sebuah program yang bertujuan untuk mempelajari bagaimana siswa untuk memahami, mengartikulasikan, mengolah, dan akhirnya menggunakan ide-ide matematika, konsep, dan praktik-praktik yang dapat memecahkan masalah yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari mereka. Etnomatematika menggunakan konsep matematika secara luas yang terkait dengan berbagai aktivitas matematika, meliputi aktivitas mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain, menentukan lokasi, dan lain sebagainya, sebagaimana yang dikatakan oleh D'Ambrosio dalam Wahyuni, Tias & Sani (2013) bahwa tujuan dari adanya etnomatematika adalah untuk mengakui bahwa ada cara-cara berbeda dalam melakukan matematika dengan mempertimbangkan pengetahuan matematika yang dikembangkan dalam berbagai sektor masyarakat serta dengan mempertimbangkan cara yang berbeda dalam aktivitas masyarakat seperti cara mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain dan lainnya.

2.      Etnomatematika Masyarakat Jawa
Bentuk etnomatematika masyarakat Jawa berupa berbagai hasil aktivitas matematika yang dimiliki atau berkembang di masyarakat Jawa, meliputi konsep-konsep matematika yang dapat dikelompokkan pada peninggalan budaya berikut:
a.      Candi dan Prasasti
Konsep matematika sebagai hasil aktivitas merancang bangunan, mengukur, membuat pola, serta berhitung dapat diungkap dari peninggalan budaya candi dan prasasti, diantaranya:
1)        Konsep matematika dalam pembangunan.
Walaupun masyarakat Jawa jaman dahulu belum mengenal materi dasar konstruksi bangunan seperti halnya yang sekarang diajarkan pada pendidikan formal (seperti konsep siku-siku, simetris, persegipanjang, maupun yang konsep geometri lain), tetapi mereka dapat membangun bangunan yang megah dan tahan lama jika dibandingkan dengan bangunan jaman sekarang. Mereka hanya melakukannya secara mengalir, menggunakan perkiraan dan satuan lokal (karena satuan SI belum dikenal pada saat itu), dan menerapkannya pada tata cara tata letak, dan tata bangunan sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual yang mereka yakini (Rachmawati, 2012).
2)        Konsep matematika sebagai produk.
Masyarakat Jawa telah mengimplementasikan salah satu ilmu matematika yaitu Geometri dalam pembangunan bagian-bagian bangunan candi, diantaranya model bangun datar, meliputi persegi, persegipanjang, trapesium, segitiga, segitiga samakaki, segitiga samasisi, segilima, serta belahketupat, model bangun ruang, meliputi kubus dan balok, model sifat matematis, meliputi sifat simetris, dan konsep translasi (pergeseran), serta pola dilatasi persegi pada bagian dalam atap candi yang membentuk deret aritmatika (Rachmawati, 2012).
b.      Gerabah dan Peralatan Tradisional
Konsep matematika sebagai hasil aktivitas merancang alat serta membuat pola yangterdapat pada gerabah dan peralatan tradisional merupakan contoh bentuk etnomatematika masyarakat Jawa, diantaranya bentuk dasar irik, kalo, serta ebor yang berbentuk setengah bola dengan tepian berpola lingkaran, layah (cobek) berbentuk lingkaran, entong berbentuk elips, capil berbetuk kerucut, ilir dan kelasa berbentuk persegipanjang, serta benda peninggalan budaya lainnya yang memiliki bentuk-bentuk geometri (Rachmawati, 2012).
c.       Motif Kain Batik dan Bordir.
Konsep matematika sebagai hasil aktivitas memola yang dapat diungkap dari motif batik dan bordir Jawa diantaranya konsep lingkaran, garis lurus dan garis lengkung, simetris, refleksi, dilatasi, translasi, sertarotasi. Dengan menerapkan konsep matematis pada teknik pengulangan, batik-batik tradisional maupun motif kain bordir itu bisa dikembangkan dan dimodifikasi (Rachmawati, 2012).
d.      Permainan Tradisional.
Konsep matematika sebagai hasil aktivitas bermain berkaitan dengan aktivitas mengelompokkan, menghitung atau membilang, dan lainnya dapat diungkap dari masing-masing permainan tersebut memiliki konsep matematika sebagai berikut (Rachmawati, 2012):
1)      hompimpa, suit dan umbulan/geplakan: konsep peluang
2)      engklek: model persegi dan persegipanjang
3)      bekelan: konsep translasi, membilang, penjumlahan serta pengurangan pada bilangan bulat 1 sampai 5
4)      Lompat tali: konsep garis  lurus dan garis lengkung.
5)      Bermain pasir: konsep bangun ruang
6)      Pasaran: konsep aritmatika sosial, meliputi nilai mata uang serta operasi bilangan bulat.
7)      petak umpet/Delikan: konsep menghitung bilangan dari 1 s.d. 10.
8)      Dakon/congklak: konsep penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian pada bilangan bulat.
e.      Hari pasaran pon, wage, kliwon, legi dan pahing
Konsep matematika yang berkaitan dengan hari pasaran adalah konsep modulo atau basis bilangan, sehingga orang jawa bisa menentukan hari dalam acara 40 hari, 100 hari ataupun 1000 hari meninggalnya seseorang.
f.        Petungan
Konsep matematika yang berkaitan dengan petungan adalah konsep penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian.




D.      PENUTUP
Dalam kesehariannya tanpa disadari masyarakat telah menggunakan aktivitas matematika walaupun mereka tidak mengetahui konsep-konsep matematika. Kebiasaan masyarakat seharusnya terus ditanamkan dan dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari dan bila perlu dikembangkan. Selain itu kebiasaan aktivitas matematika ini dapat dijadikan sarana dalam membantu pembelajaran matematika dan ini sangat cocok dengan pola pendekatan pembelajaran kontekstual dan matematika riil. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi para pendidik untuk dapat mengintegrasikan budaya dan matematika.  







DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2003. Falsafah Hidup Jawa. Tangerang. Penerbit Cakrawala.

Hakim, Atang Abdul & Saebani, Beni Ahmad. 2008. Filsafat Umum: dari Metologi Sampai Teofilosofi. Bandung. Penerbit Pustaka Setia.

Koentjaraningrat. 1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Aksara Baru

Marsigit. 2008. Matematika Dilihat dari Berbagai Sudut Pandang. http://marsigit philosophy.blogspot.com/2008/12/matematika-dilihat-dari-berbagai-sudut.html.

Marsigit. 2008. Pondasi Matematika: Dari Plato sampai Godel. http://marsigit philosophy.blogspot.com/2008/12/pondasi-matematika-dari-plato-sampai.html


Marsigit. _. Peran Intuisi dalam MatematikaMenurut Immanuel Kant. http://staff.uny .ac.id/ system/files/Penelitian/Marsigit,%20Dr.,%20M.A./Makalah%20 Kon%20Nas%20Mat%20Semarang.pdf.

Marzuki. 2006. Tradisi dan Budaya Masyarakat Jawa dalam Perspekti Islam. http:// eprints.uny.ac.id/2609.

Rachmawati, Inda. 2012. Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo. http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/mathedunesa/article/view/249.


Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 2010.. Filsafat Ilmu: Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta. Liberty.

Wahyuni, Astri; Tias, Ayu Aji Wedaring & Sani, Budiman. 2013. Peran etnomatematika dalam membangun karakter bangsa. http://eprints. uny.ac.id/10738/1/P%20-%2015.pdf.

Yunus, Firdaus M. _. Filsafat Barat Modern. http://e-dokumen.kemenag. go.id/files/TrL4kHFM1339045469.pdf.