Minggu, 02 Februari 2014

filsafat konstruktivisme



IMPLIKASI FILSAFAT KONSTRUKTIVISME DALAM
PENDIDIKAN DI SEKOLAH
Oleh: Maprokhi
NIM: 13709259014


A.      Pengertian Filsafat
1.    Filsafat secara etimologi
Filsafat berasal dari bahasa Yunani Philosophia yang terdiri dari kata Hilein yang berarti cinta dan sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Sehingga secara etimologi filsafat berarti cinta (love) kebijaksanaan (love of wisdom), (Surajiyo, 2007).
2.    Filsafat secara Terminologi
Secara terminologi adalah arti yang dikandung oleh filsafat (Surajiyo, 2007). Beberapa filsuf mengartikan filsafat seperti berikut ini:
a.   Plato berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang asli
b.    Aristoteles, menurut aristoteles filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika (filsafat keindahan).
c.  Al Farabi, filsuf Arab ini mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu (pengetahuan) tentang hakikat bagaimana alam maujud yang sebenarnya
d.   Rene Descartes, menurut Descartes filsafat adalah kumpulan semua pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
e.   Immanuel Kant, menurut Kant filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang menjadi pangkal dari semua pengetahuan yang di dalamnya tercakup masalah epistemologi (filsafat pengetahuan) yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui.
f.   Langeveld berpendapat bahwa filsafat adalah berpikir tentang masalah-masalah yang akhir dan yang menentukan, yaitu masalah-masalah mengenai makna keadaan Tuhan, keabadian, dan kebebasan.

B.       Filsafat Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Von Glasersfeld dalam Suparno, 1997). Von Glasersfeld dalam Suparno (1997) menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan (Bettencourt dalam Suparno, 1997). Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru (Piaget dalam Suparno, 1997).
Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut (Von Glasersfeld dan Kitchener dalam Suparno, 1997)
1.   Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
2.         Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
3.  Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Von Glasersfeld dalam Suparno (1997) membedakan adanya tiga taraf konstruktivisme:
1.         Konstruktivisme radikal
Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Bagi konstruktivis radikal, pengetahuan tidak merefleksikan suatu kenyataan ontologis objektif, tetapi merupakan suatu pengaturan dan organisasi dari suatu dunia yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. (Von Glasersfeld dalam Suparno, 1997). Menurut Von Glasersfeld dalam Suparno (1997), Piaget termasuk konstruktivis radikal (Bettencourt dalam Suparno, 1997)
2.         Realisme Hipotetis
Menurut realisme hipotetis, pengetahuan (ilmiah) kita dipandang sebagai suatu hipotesis dari suatu struktur kenyataan dan berkembang menuju suatu pengetahuan yang sejati, yang dekat dengan realitas (Munevar dalam Suparno, 1997). Menurut Manuvar dalam Suparno (1997), pengetahuan kita mempunyai relasi dengan kenyataan tetapi tidak sempurna. 
3.         Konstuktivisme yang biasa
Aliran ini tidak mengambil semua konsekuensi konstruktivisme. Menurut aliran ini, pengetahuan kita merupakan gambaran dari realitas itu. Pengetahuan kita dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek dalam dirinya sendiri.

C.      Peran Konstruktivisme pada Pendidikan di Sekolah
1.         Peran Konstruktivisme secara Umum
Prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan matematika. Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan alat refleksi kritis terhadap praktik, pembaruan, dan perencanaan pendidikan sains dan matematika (Suparno, 1997). Prinsip-prinsip yang sering diambil dari konstruktivisme antara lain:
a.         Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif
b.        Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa
c.         Mengajar adalah membantu siswa mengajar
d.        Tekanan dalam proses lebih pada proses bukan pada hasil akhir
e.         Kurikulum menekankan partisipasi siswa
f.         Guru adalah fasilitator
Prinsip tersebut banyak diambil untuk membuat perencanaan proses belajar mengajar yang sesuai, pembaruan kurikulum, perencanaan program persiapan, dan untuk mengevaluasi praktik belajar mengajar yang sudah berjalan (Suparno, 1997).
Sebagai referensi, sekelompok guru mengambil prinsip konstruktivisme untuk menyusun metode mengajar yang lebih menekankan keaktifan siswa baik dalam belajar sendiri maupun bersama dalam kelompok. Guru-guru mencari cara untuk lebih mengerti apa yang dipikirkan dan dialami siswa dalam proses belajar. Mereka memikirkan beberapa kegiatan dan aktivitas yang dapat merangsang  murid berpikir. Interaksi antarsiswa di kelas dihidupkan, siswa diberi kebebasan mengungkapkan gagasan dan pemikiran meraka (Fosnot dalam Suparno, 1997).
 
2.         Konstruktivisme dan Kurikulum
Duit dan Confrey dalam Suparno (1997) merangkumkan beberapa prinsip penting teori konstruktivis sebagai arah pembaruan kurikulum pendidikan sains dan matematika sebagai berikut:
a.     Pendekatan yang menekankan penggunaan matematika dan sains dalam situasi yang sesuai dengan minat siswa
b.    Meta pengetahuan. Artinya bukan hanya menekankan isi matematika dan sains, tetapi juga konteks dan prinsip-prinsipnya.
c.         Tekanan lebih pada konstruksi, interpretasi, koordinasi, dan juga multiple idea.
d.        Menekankan siswa agar aktif
e.         Penting diperhatikan adanya perspektif alternatif dalam kelas
Driver dan Oldham dalam Suparno (1997) menyatakan bahwa perencanaan kurikulum konstruktivis tidak dapat begitu saja mengambil kurikulum standar yang menekankan siswa pasif dan guru aktif, sebagai cara mentransfer pengetahuan dari guru ke murid. Kurikulum bukan sebagai tubuh pengetahuan dan kumpulan keterampilan (skill), melainkan lebih sebagai program aktivitas di mana pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksikan. Kurikulum bukan kumpulan bahan yang sudah ditentukan sebelumnya untuk mengajar, melainkan lebih sebagai suatu persoalan yang perlu dipecahkan oleh para siswa untuk lebih mengerti (Matthews dalam Suparno, 1997).

D.      Relevansi Teori Pembelajaran Konstruktivisme dengan Pendidikan Islam
Al-Attas dalam Sukiman (2008) membedakan pengetahuan menjadi dua macam, yaitu pengetahuan yang pertama disebut dengan al-'ilm yang menunjuk kepada pengetahuan yang hanya dapat mungkin diterima oleh insan dengan daya usaha kerja amal ibadah serta kesucian hidupnya, yakni dengan keihsanannya dan dengan khidmat sejati ibadah kepada Tuhannya Yang Hak demi ridha-Nya belaka dan yang kemungkinan dapat diterimanya itu bergantung kepada kehendak dan karunia Allah Swt.
Pengetahuan yang kedua disebut dengan 'ilm bentuk jamaknya 'ulum adalah pengetahuan yang diperoleh sebagai hasil pencapaian sendiri daya usaha akliah melalui pengalaman hidup indera jasmani dan nazar akali dan pemerhatian, penyelidikan, dan pengkajian. Pengetahuan ini berdasar pada pengumpulan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari kenyataan hidup duniawi. Pencapaian pengetahuan jenis kedua ini ditempuh melalui proses penginderaan terhadap objek luar serta pengolahan lewat akal pikiran. Di sini indera dan akal manusia merupakan alat yang memegang peranan yang cukup vital dalam pencapaian pengetahuan. Indera merupakan pintu gerbang dalam pencapaian pengetahuan dan akal yang akan memprosesnya lebih lanjut sehingga menjadi pola-pola pengetahuan (Sukiman, 2008).
Konsep belajar untuk pencapaian pengetahuan yang kedua tersebut yang ada kesesuaiannya dengan konsep belajar menurut pandangan konstruktivisme, sedangkan konsep belajar untuk mencapai pengetahuan yang pertama konstruktivisme tidak memilikinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep belajar untuk pengembangan aspek pengetahuan (kognitif) saja ternyata sebenaranya konsep pendidikan Islam jangkauannya melebihi konsep konstruktivisme (Sukiman, 2008).
Kesesuaian antara konstruktivisme dan pendidikan Islam terletak pada konsep dasar mengajar. Keduanya sependapat bahwa mengajar bukan hanya sekedar transfer pengetahuan dari pengajar kepada si belajar (siswa). Mengajar lebih diarahkan sebagai upaya membantu si belajar agar dapat belajar secara maksimal. Peran pengajar tidak lagi sebagai transmitter pengetahuan tetapi sebagai fasilitator dan motivator bagi perkembangan potensi si belajar (Sukiman, 2008).
Sedang perbedaan antara keduanya adalah bahwa mengajar dalam pandangan pendidikan Islam tidak hanya memfasilitasi pengembangan aspek kognitif saja, tetapi juga memfasilitasi perkembangan semua potensi yang ada pada diri si belajar, yang mencakup potensi kognitif, afektif dan psikomotor. Hal ini kemudian juga berimplikasi kepada peran guru/guru dimana di samping sebagai fasilitator dan motivator, dalam pendidikan Islam guru/guru juga harus memerankan diri sebagai model (role model) perilaku yang baik bagi si belajar. Oleh karena itu, menurut pandangan pendidikan Islam, guru atau pendidik dituntut untuk memiliki kepribadian sesuai dengan nilai-nilai Islam sehingga benar-benar dapat dijadikan model (uswah hasanah) bagi para peserta didiknya (Sukiman, 2008).

E.        PENUTUP
Marsigit (2013) menyatakan bahwa filsafat berfungsi sebagai supporting factor bagi pemeluk agama untuk meningkatkan kualitas peribadatannya. Hirarkhi kemampuan manusia untuk memahami, menafsirkan dan mengamalkan ajaran agama tercermin dalam hypothetical reflections sebagai berikut:
 “Setingg-tinggi ilmu dan pikiran (filsafat) tidaklah mampu mengetahui segala seluk beluk hati (spiritual). Sehebat-hebat ucapan, tidaklah mampu mengucapkan semua yang dipikirkan. Sehebat-hebat tulisan, tidaklah mampu menulis semua ucapan. Sehebat-hebat perbuatan, tidaklah mampu melaksanakan semua tulisan. Maka janganlah kita mengandalkan hanya pikiran (filsafat) saja untuk memaknai spiritual (agama), melainkan bahwa gunakan dan jadikan hati kita masing-masing sebagai komandan dalam hidup kita. Sesungguhnya, di dalam hati itulah bernaung ilmu spiritualitas kita masing-masing.”
Semua aktivitas manusia menurut agama hakekatnya merupakan ibadah termasuk mencari ilmu pengetahuan. Sehingga ketika memahami ilmu pengetahuan tidak hanya menggunakan filsafat (olah pikir) semata tetapi menghubungkannya dengan aspek spiritual melalui hati manusia sangatlah penting agar manusia tidak terjerumus ke dalam sikap yang bertentangan dengan agama.

Referensi: 
Marsigit. 2013. Urgensi Filsafat dalam Pendidikan Islam untuk Membentuk Karakter. Yogyakarta. https://uny.academia.edu/MarsigitHrd. Diakses 29 Januari 2013.
Sukiman. 2008. Teori Pembelajaran dalam Pandangan Konstruktivisme dan Pendidikan Islam. Yogyakarta. https://digilib.uin-suka.ac.id. Diakses 29 Januari 2013.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jakarta. Penerbit Kanisius
Surajiyo. 2007. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta. PT Bumi Aksara