IMPLIKASI FILSAFAT
KONSTRUKTIVISME DALAM
PENDIDIKAN DI
SEKOLAH
Oleh: Maprokhi
NIM: 13709259014
A.
Pengertian
Filsafat
1. Filsafat
secara etimologi
Filsafat berasal dari bahasa Yunani Philosophia yang terdiri dari kata Hilein yang berarti cinta dan sophia
yang berarti kebijaksanaan (wisdom).
Sehingga secara etimologi filsafat berarti cinta (love) kebijaksanaan (love of
wisdom), (Surajiyo, 2007).
2. Filsafat
secara Terminologi
Secara
terminologi adalah arti yang dikandung oleh filsafat (Surajiyo, 2007). Beberapa
filsuf mengartikan filsafat seperti berikut ini:
a. Plato
berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai
pengetahuan tentang kebenaran yang asli
b. Aristoteles,
menurut aristoteles filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran
yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika,
ekonomi, politik dan estetika (filsafat keindahan).
c. Al
Farabi, filsuf Arab ini mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu (pengetahuan)
tentang hakikat bagaimana alam maujud
yang sebenarnya
d. Rene
Descartes, menurut Descartes filsafat adalah kumpulan semua pengetahuan di mana
Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
e. Immanuel
Kant, menurut Kant filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang menjadi pangkal dari
semua pengetahuan yang di dalamnya tercakup masalah epistemologi (filsafat
pengetahuan) yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui.
f. Langeveld
berpendapat bahwa filsafat adalah berpikir tentang masalah-masalah yang akhir
dan yang menentukan, yaitu masalah-masalah mengenai makna keadaan Tuhan,
keabadian, dan kebebasan.
B.
Filsafat
Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan)
kita sendiri (Von Glasersfeld dalam Suparno, 1997). Von Glasersfeld dalam
Suparno (1997) menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari
kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang
ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari konstruksi kognitif kenyataan
melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan
struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan (Bettencourt dalam
Suparno, 1997). Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat
tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau
dunia sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan
setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru
(Piaget dalam Suparno, 1997).
Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai
pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut (Von Glasersfeld dan Kitchener
dalam Suparno, 1997)
1. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran
dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui
kegiatan subjek.
2.
Subjek membentuk skema kognitif,
kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur
konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu
berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Von Glasersfeld dalam Suparno (1997) membedakan
adanya tiga taraf konstruktivisme:
1.
Konstruktivisme radikal
Kaum konstruktivisme radikal
mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu
kriteria kebenaran. Bagi konstruktivis radikal, pengetahuan tidak merefleksikan
suatu kenyataan ontologis objektif, tetapi merupakan suatu pengaturan dan organisasi
dari suatu dunia yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. (Von Glasersfeld
dalam Suparno, 1997). Menurut Von Glasersfeld dalam Suparno (1997), Piaget
termasuk konstruktivis radikal (Bettencourt dalam Suparno, 1997)
2.
Realisme Hipotetis
Menurut realisme hipotetis,
pengetahuan (ilmiah) kita dipandang sebagai suatu hipotesis dari suatu struktur
kenyataan dan berkembang menuju suatu pengetahuan yang sejati, yang dekat
dengan realitas (Munevar dalam Suparno, 1997). Menurut Manuvar dalam Suparno
(1997), pengetahuan kita mempunyai relasi dengan kenyataan tetapi tidak
sempurna.
3.
Konstuktivisme yang biasa
Aliran ini tidak mengambil semua
konsekuensi konstruktivisme. Menurut aliran ini, pengetahuan kita merupakan gambaran
dari realitas itu. Pengetahuan kita dipandang sebagai suatu gambaran yang
dibentuk dari kenyataan suatu objek dalam dirinya sendiri.
C.
Peran
Konstruktivisme pada Pendidikan di Sekolah
1.
Peran Konstruktivisme secara Umum
Prinsip-prinsip
konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan matematika. Secara umum
prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan alat refleksi kritis
terhadap praktik, pembaruan, dan perencanaan pendidikan sains dan matematika
(Suparno, 1997). Prinsip-prinsip yang sering diambil dari konstruktivisme
antara lain:
a.
Pengetahuan dibangun oleh siswa secara
aktif
b.
Tekanan dalam proses belajar terletak
pada siswa
c.
Mengajar adalah membantu siswa mengajar
d.
Tekanan dalam proses lebih pada proses
bukan pada hasil akhir
e.
Kurikulum menekankan partisipasi siswa
f.
Guru adalah fasilitator
Prinsip tersebut
banyak diambil untuk membuat perencanaan proses belajar mengajar yang sesuai,
pembaruan kurikulum, perencanaan program persiapan, dan untuk mengevaluasi
praktik belajar mengajar yang sudah berjalan (Suparno, 1997).
Sebagai
referensi, sekelompok guru mengambil prinsip konstruktivisme untuk menyusun
metode mengajar yang lebih menekankan keaktifan siswa baik dalam belajar sendiri
maupun bersama dalam kelompok. Guru-guru mencari cara untuk lebih mengerti apa
yang dipikirkan dan dialami siswa dalam proses belajar. Mereka memikirkan
beberapa kegiatan dan aktivitas yang dapat merangsang murid berpikir. Interaksi antarsiswa di kelas
dihidupkan, siswa diberi kebebasan mengungkapkan gagasan dan pemikiran meraka
(Fosnot dalam Suparno, 1997).
2.
Konstruktivisme dan Kurikulum
Duit dan Confrey
dalam Suparno (1997) merangkumkan beberapa prinsip penting teori konstruktivis
sebagai arah pembaruan kurikulum pendidikan sains dan matematika sebagai
berikut:
a. Pendekatan yang menekankan penggunaan
matematika dan sains dalam situasi yang sesuai dengan minat siswa
b. Meta pengetahuan. Artinya bukan hanya
menekankan isi matematika dan sains, tetapi juga konteks dan prinsip-prinsipnya.
c.
Tekanan lebih pada konstruksi,
interpretasi, koordinasi, dan juga multiple
idea.
d.
Menekankan siswa agar aktif
e.
Penting diperhatikan adanya perspektif
alternatif dalam kelas
Driver dan
Oldham dalam Suparno (1997) menyatakan bahwa perencanaan kurikulum
konstruktivis tidak dapat begitu saja mengambil kurikulum standar yang
menekankan siswa pasif dan guru aktif, sebagai cara mentransfer pengetahuan
dari guru ke murid. Kurikulum bukan sebagai tubuh pengetahuan dan kumpulan
keterampilan (skill), melainkan lebih
sebagai program aktivitas di mana pengetahuan dan keterampilan dapat
dikonstruksikan. Kurikulum bukan kumpulan bahan yang sudah ditentukan
sebelumnya untuk mengajar, melainkan lebih sebagai suatu persoalan yang perlu
dipecahkan oleh para siswa untuk lebih mengerti (Matthews dalam Suparno, 1997).
D. Relevansi
Teori Pembelajaran Konstruktivisme dengan
Pendidikan Islam
Al-Attas
dalam Sukiman (2008) membedakan pengetahuan menjadi dua macam, yaitu
pengetahuan yang pertama disebut dengan al-'ilm yang menunjuk kepada
pengetahuan yang hanya dapat mungkin diterima oleh insan dengan daya usaha
kerja amal ibadah serta kesucian hidupnya, yakni dengan keihsanannya dan dengan
khidmat sejati ibadah kepada Tuhannya Yang Hak demi ridha-Nya belaka dan yang
kemungkinan dapat diterimanya itu bergantung kepada kehendak dan karunia Allah
Swt.
Pengetahuan
yang kedua disebut dengan 'ilm bentuk jamaknya 'ulum adalah
pengetahuan yang diperoleh sebagai hasil pencapaian sendiri daya usaha akliah melalui
pengalaman hidup indera jasmani dan nazar akali dan pemerhatian, penyelidikan,
dan pengkajian. Pengetahuan ini berdasar pada pengumpulan kesimpulan-kesimpulan
yang diperoleh dari kenyataan hidup duniawi. Pencapaian pengetahuan jenis kedua
ini ditempuh melalui proses penginderaan terhadap objek luar serta pengolahan
lewat akal pikiran. Di sini indera dan akal manusia merupakan alat yang
memegang peranan yang cukup vital dalam pencapaian pengetahuan. Indera
merupakan pintu gerbang dalam pencapaian pengetahuan dan akal yang akan
memprosesnya lebih lanjut sehingga menjadi pola-pola pengetahuan (Sukiman, 2008).
Konsep
belajar untuk pencapaian pengetahuan yang kedua tersebut yang ada kesesuaiannya
dengan konsep belajar menurut pandangan konstruktivisme, sedangkan konsep belajar
untuk mencapai pengetahuan yang pertama konstruktivisme tidak memilikinya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep belajar untuk pengembangan aspek
pengetahuan (kognitif) saja ternyata sebenaranya konsep pendidikan Islam
jangkauannya melebihi konsep konstruktivisme (Sukiman, 2008).
Kesesuaian
antara konstruktivisme dan pendidikan Islam terletak pada konsep dasar
mengajar. Keduanya sependapat bahwa mengajar bukan hanya sekedar transfer
pengetahuan dari pengajar kepada si belajar (siswa). Mengajar lebih diarahkan
sebagai upaya membantu si belajar agar dapat belajar secara maksimal. Peran pengajar
tidak lagi sebagai transmitter pengetahuan tetapi sebagai fasilitator
dan motivator bagi perkembangan potensi si belajar (Sukiman, 2008).
Sedang
perbedaan antara keduanya adalah bahwa mengajar dalam pandangan pendidikan
Islam tidak hanya memfasilitasi pengembangan aspek kognitif saja, tetapi juga
memfasilitasi perkembangan semua potensi yang ada pada diri si belajar, yang mencakup
potensi kognitif, afektif dan psikomotor. Hal ini kemudian juga berimplikasi
kepada peran guru/guru dimana di samping sebagai fasilitator dan motivator,
dalam pendidikan Islam guru/guru juga harus memerankan diri sebagai model (role
model) perilaku yang baik bagi si belajar. Oleh karena itu, menurut
pandangan pendidikan Islam, guru atau pendidik dituntut untuk memiliki
kepribadian sesuai dengan nilai-nilai Islam sehingga benar-benar dapat
dijadikan model (uswah hasanah) bagi para peserta didiknya (Sukiman, 2008).
E.
PENUTUP
Marsigit
(2013) menyatakan bahwa filsafat berfungsi sebagai supporting factor bagi
pemeluk agama untuk meningkatkan kualitas peribadatannya. Hirarkhi kemampuan
manusia untuk memahami, menafsirkan dan mengamalkan ajaran agama tercermin
dalam hypothetical reflections sebagai berikut:
“Setingg-tinggi ilmu dan pikiran
(filsafat) tidaklah mampu mengetahui segala seluk beluk hati (spiritual).
Sehebat-hebat ucapan, tidaklah mampu mengucapkan semua yang dipikirkan.
Sehebat-hebat tulisan, tidaklah mampu menulis semua ucapan. Sehebat-hebat
perbuatan, tidaklah mampu melaksanakan semua tulisan. Maka janganlah kita
mengandalkan hanya pikiran (filsafat) saja untuk memaknai spiritual (agama),
melainkan bahwa gunakan dan jadikan hati kita masing-masing sebagai komandan
dalam hidup kita. Sesungguhnya, di dalam hati itulah bernaung ilmu
spiritualitas kita masing-masing.”
Semua aktivitas
manusia menurut agama hakekatnya merupakan ibadah termasuk mencari ilmu
pengetahuan. Sehingga ketika memahami ilmu pengetahuan tidak hanya menggunakan
filsafat (olah pikir) semata tetapi menghubungkannya dengan aspek spiritual
melalui hati manusia sangatlah penting agar manusia tidak terjerumus ke dalam
sikap yang bertentangan dengan agama.
Referensi:
Marsigit.
2013. Urgensi Filsafat dalam Pendidikan
Islam untuk Membentuk Karakter. Yogyakarta. https://uny.academia.edu/MarsigitHrd.
Diakses 29 Januari 2013.
Sukiman.
2008. Teori Pembelajaran dalam Pandangan
Konstruktivisme dan Pendidikan Islam. Yogyakarta. https://digilib.uin-suka.ac.id.
Diakses 29 Januari 2013.
Suparno,
Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme
dalam Pendidikan. Jakarta. Penerbit Kanisius
Surajiyo.
2007. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar.
Jakarta. PT Bumi Aksara